Tentang Karya
“LUKU = Laku Urip Kang Utama”
Jembatan Kretek II adalah jembatan baru yang maknanya mempersatukan. Jembatan ini ada di daerah tempuran sungai opak dan pesisir selatan Yogyakarta. Kawasan ini selain menjadi penghubung utama di kawasan selatan Jogja juga nantinya akan dikembangkan menjadi kawasan wisata yang terintegrasi, sehingga perkembangan ekonomi dan sosial di kawasan ini tentu akan berkembang pesat sebagai dampaknya.
Sesuai dengan arah pembangunan Yogyakarta yang sekarang lebih menuju pengembangan wilayah selatan sebagai gerbang masuk Yogyakarta, tentu wilayah selatan kemudian menjadi wajah Yogyakarta yang akan menjadi impresi awal interaksi publik dengan Yogyakarta.
Semangat Among Tani Dagang Layar menjadi filosofi utama pembangunan Yogyakarta baik secara infrastruktur maupun tata wilayah dan sumber daya manusianya.
Untuk itulah Jembatan Kretek II yang berfilosofi Among Tani Dagang Layar harus menjadi salah satu landmark utama Yogyakarta yang tidak hanya indah secara visual namun juga memiliki makna yang mendalam.
Stilisasi bentuk Luku sebagai wujud agrarisnya budaya dan masyarakat Yogyakarta, terpadu dengan stilisasi bentuk Pikulan yang bermakna kerja keras dan saling bekerja sama sebagai bagian dalam semangat pembangunan Yogyakarta. Ditambahkan stilisasi dari tiang layar kapal nelayan pantai selatan yang bermakna penyatuan agraris dan maritim sekaligus bentuk masyarakat Yogyakarta yang nyawiji baik secara mempersatukan alam maupun bersatu dengan Tuhannya untuk kemakmuran dan kemaslahatan bersama.
NADHILOKA
Adalah taman indah dengan aliran sungai sepanjang tahun sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat sekitarnya, demikian juga dengan konsep taman di sisi selatan Jembatan Luku dengan penamaan ‘Nadhiloka’ sebagai media interaksi bagi masyarakat dengan desain sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk segala kegiatan positif.
SESAR OPAK
Jembatan Luku dibangun di atas sesar Opak yang yang berada di sisi timur sungai Opak.
Sesar Opak digambarkan sebagai patahan normal yang bergerak vertikal aktif membentang di tengah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memisahkan dataran tinggi Wonosari dengan dataran rendah Yogyakarta sehingga kerap kali menjadi penyebab terjadinya gempa yang mengguncang Jogja.
Jalur patahan sesar Opak sulit diketahui karena tertimbun tanah dan diduga melintas sampai di bawah Candi Prambanan dan berujungan sampai Palung Jawa di selatan sepanjang 40km dan memiliki kedalaman rata-rata berkisar antara 55-82 meter.
SWANAYASA
Swanayasa diberikan limpahan karunia kehidupan dengan sinar matahari, semilir angin, tumbuhan segar dan air mengalir. Swanayasa adalah wahana yang memberikan kehidupan sekitarnya, tempat hilir mudik mahluk hidup di atasnya sebagai persinggahan silih berganti.
Swanayasa diwujudkan dalam bentuk rest area sebagai simbol kesinambungan dan keberlangsungan Yogyakarta dan Gunung Kidul khususnya (baca-Mataram) hingga kini, dan sebagai rest area pertama Provinsi DIY dari arah timur, ‘Swanayasa’ bukan hanya greeting tetapi juga etalase terkait narasi Mataram tersebut.
Susunan bangunan di rest área JJLS berfilosofi Cakra Manggilingan yang bersumber Serat Kalatida, Ronggowarsito memberikan gambaran perputaran makrokosmos dalam penuturan siklus kalabendu dan kalasuba dalam konsep ruang dan waktu yang berkesinambung selaras dengan perkembangan zaman.
Sumber lain dalam teks macopat Serat Wedhatama oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV, menjabarkan rentetan siklus bersifat determinasi hukum waktu dialektis Jagat Gumelar dan Jagat Gumulung.
Secara sederhana makna Cakra Manggilingan adalah siklus alam makrokosmos-mikrokosmos dan dalam konteks manusia (makrokosmos) sama dengan hakekat Sangkan Paraning Dumadi (masa lalu, masa kini dan masa depan) dengan metafora alam purwo dan alam madyo yang terus berulang dalam filosofi waktu (infinity)