Tentang Karya
Bertutur tentang sejarah, budaya dan kesenian masyarakat Jawa serta narasi lima desa sebagai sebuah penghormatan pada area yang juga menjadi wilayah bandara Yogyakarta International Airport (YIA) yang diaplikasikan ke dalam 14 gerbang dengan teknis ukir kontemporer dengan menggunakan batu andesit:
LANTAI 1 (KEDATANGAN) : BABAT ALAS WANAMARTA
Relief ini mengisahkan tentang kisah Babat Alas Wanamarta sebagai semangat menggapai cita-cita untuk mendirikan sebuah negara. Babat Alas Wanamarta dalam cerita pewayangan adalah kisah Pandawa membangun negara Amarta. Terdorong rasa iba terhadap anak-anak Pandawa yang masih tergolong cucunya sendiri, Prabu Matswapati, Raja Negara Wirata menyerahkan Hutan Mertani (Alas Wanamarta) kepada Pandawa. Atas petunjuk Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati, Hutan
Mertani akan dibangun menjadi sebuah negara. Hutan Mertani sesungguhnya merupakan kerajaan siluman yang sangat besar, terdiri dari satu pusat pemerintahan dan empat negara bagian, diperintah lima bersaudara raja jin. Setelah kelima raja jin dapat dikalahkan oleh para Pandawa, maka sejak itu Negara Siluman Mertani berubah menjadi negara yang dapat dilihat dengan pandangan mata biasa, menjadi sebuah negara yang besar dan megah dan diganti namanya menjadi Negara Amarta.
LANTAI 2 (MEZZANINE) :
1. BABAT ALAS MENTAOK I
Cerita dalam Babat Alas Mentaok itu terinspirasi dari Babat Alas Mertani/Wanamarta, Hutan Mentaok di huni oleh Raja Jin bernama Jalumampang alias Jathamamrang. Merasa kesulitan mengalahkannya, Sutawijaya lalu mesuraga/semedhi di laut selatan. Dalam semedhinya dia lalu di datangi oleh Ratu Kidul yang terpikat oleh ketampanannya. Lalu deal politikpun tercapai, Ratu Kidul akan membantu melawan Jalumampang asal Sutawijaya dan keturunannya mau menjadi suami dari si Ratu. Ibarat pucuk dicinta ulampun tiba, Sutawijaya langsung deal dan kontrakpun di teken. Singkat cerita Jalumamphang kalah dan terusir ke puncak Merapi dan Sutawijaya sukes membuka hutan Mentaok. Kerajaan Mataram menjadi pengungkit keluhuran budaya Jawa yang masih terus lestari hingga kini.
2. BABAT ALAS MENTAOK II
Relief ini menceritakan Panembahan Senopati membangun kerajaan Mataram (Islam). Hutan Mentaok ( bahasa Jawa : Alas Mentaok) adalah hutan yang pernah ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta . Lokasi hutan Mentaok membentang dari timur laut hingga tenggara Kota Yogyakarta saat ini, diperkirakan mulai dari daerah Purwomartani di Sleman , daerah Banguntapan di Bantul , hingga daerah Kotagede , di Kota Yogyakarta. Pada zaman dahulu, hutan Mentaok merupakan wilayah bekas Kerajaan Mataram Kuno yang menguasai wilayah Jawa Tengah bagian selatan pada abad 8 hingga abad 10. Setelah Kerajaan Mataram Hindu memindahkan pusat kerajaannya ke daerah Jawa Timur akhirnya wilayah pusat kerajaan yang lama menjadi hutan dan disebut Alas Mentaok.
Beberapa abad kemudian Alas Mentaok menjadi wilayah Kesultanan Pajang . Pada tahun 1556, saat Kesultanan Pajang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir , wilayah Alas Mentaok, yang juga disebut Bumi Mataram pada kala itu, diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas keberhasilannya, bersama putranya yaitu Danang Sutawijaya dalam menumpas pemberontakan Arya Penangsang , Adipati Kadipaten Jipang Panolan yang berpusat di daerah Panolan , Kedungtuban , Blora , Jawa Tengah sekarang.
Setelah serah terima wilayah Alas Mentaok dilakukan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pemanahan, kemudian Alas Mentaok yang saat itu berupa hutan lebat dibuka menjadi sebuah desa oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani . Desa di Alas Mentaok tersebut selanjutnya dinamai Mataram dan berstatus sebagai tanah perdikan atau daerah bebas pajak.
Seiring berjalannya waktu, wilayah Alas Mentaok semakin berkembang, penduduknya bertambah, dan akhirnya menjadi sebuah daerah yang makmur. Sejarah mencatat bahwa di kawasan Alas Mentaok ini, tepatnya di daerah Kotagede saat ini, pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Mataram , seiring runtuhnya Kesultanan Pajang. Kini, bekas wilayah Alas Mentaok menjadi bagian dari Kota Yogyakarta , Kabupaten Bantul , dan Kabupaten Sleman , di mana juga terdapat Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di wilayah Kota Yogyakarta.
3. BABAT ALAS MERTANI
Relief ini mengisahkan tentang kisah Babat Alas Mertani sebagai semangat menuju dunia baru. Sebenarnya babat alas Mertani sama dengan Babat alas Wanamarta, namun yang menjadi fokus pada cerita di relief ini adalah para Pandawa yang kemudian memerintah masing-masing negara yang rajanya berhasil mereka taklukkan, sehingga kerajaan tersebut menjadi kerajaan para Pandawa.
Hutan Mertani sesungguhnya merupakan kerajaan siluman yang sangat besar, terdiri dari satu pusat pemerintahan dan empat negara bagian, diperintah lima bersaudara raja jin. Mereka adalah Yudhistira memerintah pusat Pemerintahan, Negara Mertani dan keempat adiknya yang menguasai empat negara bagian, yaitu Arya Dandunwacana menguasai Negara Jodipati, Arya Dananjaya menguasai Negara Madukara, Detya Sapujagad menguasai Negara Sawojajar, dan Detya Sapulebu menguasai Negara Bawenatalun. Singkat cerita, Arya Dandunwacana dapat dikalahkan Bima, kemudian menyatu dalam tubuh Bima setelah menyerahkan Negara Jodipati. Arya Dananjaya dikalahkan Arjuna dan menyerahkan Negara Madukara, Detya Sapujagad dan Detya Sapulebu dapat dikalahkan dan manunggal dalam tubuh Nakula dan Sadewa setelah menyerahkan Negara Sawojajar dan Bawenatalun. Prabu Yudhistira sendiri manunggal dalam tubuh Puntadewa, sehingga Puntadewa juga bernama Yudhistira.
4. BABAT ALAS PABRINGAN
Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwana III tetap menjadi raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I menjadi raja di Yogyakarta. Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan menjadi Raja maka tinggal kerajaan tempat untuk memerintah belum dimilikinya.Untuk mendirikan Keraton/Istana Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.
Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta. Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.
5. PALIHAN NAGARI
Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan memiliki separuh dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta. Pada hari Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa Pacethokan dalam Hutan Beringin yang pada awalnya bernama Garjitawati.
Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan waktu satu tahun. Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan dari Pesanggrahan Ambarketawang masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa perpindahan ini ditandai dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit dan diukirkan di atas banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai sebagai dasar penentuan Hari Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu berbagai macam sarana dan bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan baik kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap.
LANTAI 3 (KEDATANGAN)
A. HASTABRATA
Tema pada gerbang ini adalah tutur tentang prinsip kepemimpinan Jawa yaitu Hastabrata. Istilah Hastabrata berasal dari kitab Hindu berbahasa Sansekerta, Manawa Dharma Sastra. Konsep Hastabrata dalam kitab tersebut bahwa pemimpin kerajaan bertindak sesuai dengan karakter para dewa. Hastabrata pun menjadi tolok ukur sebuah kepemimpinan di masa itu. Transformasi sifat-sifat dewa menjadi delapan unsur alam yaitu bumi, matahari, langit, samudera, api, angin, bulan, bintang. Kepemimpinan dalam Kraton Ngayogyakarta juga disimbolkan menjadi benda-benda yang menjadi pusaka Kraton, yang disebut Regalia. Regalia yang dimiliki oleh terdiri dari berbagai benda yang memiliki makna tersendiri yang kesemuanya secara bersama-sama disebut KK Upocoro. Macam benda dan dan maknanya sebagai berikut:
- Banyak (berwujud angsa) menyimbolkan kelurusan, kejujuran, serta kesiap
siagaan serta ketajaman; - Dhalang (berwujud kijang) menyimbolkan kecerdasan dan ketangkasan;
- Sawung (berwujud ayam jantan) menyimbolkan kejantanan dan rasa tanggung jawab;
- Galing (berwujud burung merak jantan) menyimbolkan kemuliaan, keagungan,
dan keindahan; - Hardawalika (berwujud raja ular naga) menyimbolkan kekuatan;
- Kutuk (berwujud kotak uang) menyimbolkan kemurahan hati dan kedermawanan;
- Kacu Mas (berwujud piramida, tempat saputangan emas) menyimbolkan kesucian dan kemurnian;
- Kandhil (berwujud lentera minyak) menyimbolkan penerangan dan pencerahan;
dan - Cepuri (berwujud nampan sirih pinang), Wadhah Ses (berwujud kotak rokok), dan Kecohan (berwujud tempat meludah sirih pinang) menyimbolkan proses membuat keputusan/kebijakan negara.
B. 1. DESA GLAGAH
Relief ini dibuat sebagai tanda penghormatan bagi warga desa Glagah yang rumah atau tanahnya sekarang menjadi wilayah bandara YIA. Relief ini menceritakan tentang sejarah dan situasi yang ada di desa Glagah, dengan menampilkan tokoh-tokoh punokawan sebagai pamomong yang juga merupakan
simbolisasi rakyat. Dikisahkan ketika Petruk, Gareng dan Bagong sedang bercerita tentang suasana pantai, kehidupan nelayan serta bunga tumbuhan tebu yang dinamakan glagah.
2. DESA KEBONREJO
Relief ini dibuat sebagai tanda penghormatan bagi warga desa Kebonrejo yang rumah atau tanahnya sekarang menjadi wilayah bandara YIA. Kebon, berarti kebun atau ladang. Sedangkan Rejo, istilah dalam Bahasa Jawa yang berarti makmur. Gambaran tentang ijo royo-royo gemah ripah loh jinawi, hijaunya kesuburan tanaman, dan kuningnya hamparan padi di sawah. Perwujudan dari sentra ketahanan pangan lokal yang tergambar dari Kebon Rejo. Dikisahkan adegan ketika Semar, Bagong, Petruk, Gareng bercerita tentang pertanian dan perkebunan yang subur makmur.
3. DESA PALIHAN
Relief ini dibuat sebagai tanda penghormatan bagi warga desa Palihan yang rumah atau tanahnya sekarang menjadi wilayah bandara YIA. Dalam Bahasa Sangsekerta, Pali atau Pepali, mempunyai arti wejangan atau pesan. Itu menandakan ada sebuah tekad yang pernah diinisiasi dari wilayah itu. Tampak pada relief ketika Semar dan Togog sedang bercerita tentang peralihan pasukan Diponegoro menjadi rakyat biasa sambil menikmati kelapa muda, di depan pemandangan sawah dan pepohonan kelapa serta pohon pandan duri.
4. DESA SINDUTAN
Relief ini dibuat sebagai tanda penghormatan bagi warga desa Sindutan yang rumah atau tanahnya sekarang menjadi wilayah bandara YIA. Sindu, dalam terminologi umum mempunyai arti "mengawal umat manusia". Sementara, dalam Bahasa Sangsekerta, terdapat istilah 'sindu upaka', yang berarti air, atau sungai. Posisi Sindutan sendiri memang terdapat jalan utama menuju ke daerah yang lain, seperti mengawal direksi arah untuk ke tujuan masing-masing. Sindutan seperti menjadi penghubung antar wilayah. Mengisahkan Limbuk dan Cangik bercerita tentang jalur jalan dan air sembari memanen hasil tangkapan ikan.
5. DESA JANGKARAN
Relief ini dibuat sebagai tanda penghormatan bagi warga desa Palihan yang rumah atau tanahnya sekarang menjadi wilayah bandara YIA. Jangkaran berasal dari kata dasar Jangkar. Memang di wilayah itu dulu dari cerita secara turun temurun pernah ditemukan sebuah jangkar kapal. Itu bisa menandakan bahwa di sana sudah sering terjadi interaksi dengan tamu yang datang dari seberang. Dan biasanya dari sebuah interaksi akan berlanjut ke akulturasi, yang sering dilakukan awalnya dengan berbagi kisah dan cerita masing masing, dilanjutkan dengan bertukar cindera mata atau barter, dan berujung ke transaksional, atau aktifitas niaga. Besar kemungkinan beberapa pengetahuan dan teknologi untuk wilayah dari sana dimulai dari tempat itu. Ditampilkan Togog dan mBilung sedang bercerita tentang ditemukan jangkar, sembari mempersiapkan peralatan untuk mencari ikan.
Proses Berkarya
Detail Karya
Seniman
Pengrajin Batu Alam Sleman & Bantul
Jenis Karya
Relief
Material
Andesit
Kategori
Craft